Legenda Dewa Harem

Chapter 149



Chapter 149: Pesona Milik Randika

Pada akhirnya, Inggrid bukan lawan bagi Randika. Perempuan ini mengalami ejakulasi pertamanya.


Malam itu, Inggrid dan Randika tidak makan malam dan meneruskan kegiatan malam pertama mereka. Namun, Inggrid dengan tegas tidak ingin Randika sampai melakukan penetrasi. Randika memahami hal ini, baginya buru-buru melakukannya sama sekali tidak baik untuk hubungan mereka. Semuanya perlu dilakukan secara perlahan-lahan. Dinasti kerajaan tidak dapat dihancurkan dalam semalam. Menaklukan hati perempuan juga sama, tidak bisa dilakukan dalam semalam.


Hari berikutnya, Randika membuka matanya dan menyadari bahwa kasurnya kosong. Sepertinya Inggrid sudah pergi duluan


Melihat jam, ternyata sudah jam 9 pagi. Mungkin Inggrid sudah pergi ke kantor.


Semalam benar-benar merupakan hal yang paling menyenangkan bagi dirinya.


Sambil mengingat kejadian semalam, Randika tidak bisa berhenti tersenyum. Dia masih bisa mencium aroma badan Inggrid di bantalnya. Aroma itu benar-benar membuatnya terangsang kembali.


Ketika dia keluar dari kasur, Randika meraup mukanya dan turun ke bawah. Karena dia bangun terlalu siang, dia memutuskan untuk datang ke kantor setelah makan siang. Lagipula tidak ada pekerjaan mendesak di kantor jadi dia malas datang pagi-pagi.


Setelah sampai di bawah, Ibu Ipah yang sedang menyapu melihat Randika dan mengomel. "Nak, aku tahu bahwa hubungan badan itu wajar. Tetapi tidak perlu sekeras itu kalian berteriak, ibu takut nanti kalian kenapa-kenapa kalau bermain sekasar itu. Belum lagi leher nona tadi banyak cupangnya, nanti malah jadi bahan gosip bagaimana?"


Randika sedikit terkejut, dia tidak tahu harus berkata apa. Memang kemarin mereka sedikit liar, tetapi Inggrid masih tidak mengijinkan Randika untuk benar-benar berhubungan badan jadi foreplay mereka jadi sedikit liar.


Melihat bahwa Randika malu-malu dan mengangguk, Ibu Ipah mengatakan. "Nona sudah berangkat kerja duluan. Tunggu sebentar ya, ibu akan siapkan sarapan untukmu."


Setelah sarapan ala kadarnya, Randika juga pergi dari rumah. Namun, dia tidak berniat pergi bekerja. Malah dia berniat untuk berbelanja.


Sangat membosankan nganggur di kantor jadi lebih baik dia berjalan-jalan, siapa tahu dia menemukan barang bagus yang bisa dia hadiahkan pada istrinya?


Tak lama kemudian, Randika tiba di jalan Kartini, jalan paling terkenal di Cendrawasih.


Bahkan bisa dikatakan bahwa jalan Kartini adalah pusat dari kota ini. josei


Meskipun kota Cendrawasih ini masih kalah jauh dari kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, kota Cendrawasih termasuk kota maju. Karena itu, banyak industri perbelanjaan yang berakar di kota ini.


Randika berjalan dengan santai sambil memperhatikan sekelilingnya di jalan yang ramai ini. Dari waktu ke waktu, dia melihat perempuan-perempuan cantik yang berdandan cantik dan berkaki mulus.


Bisa dikatakan bahwa orang-orang itu kemungkinan adalah orang-orang Eropa yang sedang berlibur. Figur mereka benar-benar kelas dunia.


Saat Randika memuji satu per satu perempuan cantik, satu perempuan cantik menangkap perhatiannya.


Bukankah itu Christina?


Ini mungkin takdir!


Pada saat ini Christina terlihat sedang membawa tas belanja di kedua tangannya. Tetapi, tiba-tiba dia dihentikan oleh seorang laki-laki berbadan besar.


Orang itu memakai kemeja putih dengan perutnya yang gendut itu hampir membuat kancing bajunya itu terlepas. Wajah orang itu juga berjanggut tidak karuan, tangannya dipenuhi dengan rambut dan semua orang pasti tidak bisa melepas pandangannya dari perutnya yang besar itu. Belum lagi wajahnya yang jelek itu berkeringat deras.


"Hai cantik, aku lihat kamu sendirian saja nih, mau aku temani?" Orang itu berdiri tepat di depan Christina, wajahnya yang berkeringat itu membawa kesan tidak higienis.


"Maaf, aku sedang menunggu teman." Christina menolaknya langsung. Dia paling benci dengan orang yang tidak bisa menjaga penampilannya dan bau. Terlebih lagi, orang di hadapannya ini benar-benar jelek bagi dirinya jadi Christina sama sekali tidak tertarik.


Dengan kata lain, dia membenci orang seperti yang ada di hadapannya ini.


Lelaki itu mendengus dingin. "Sudahlah, aku tahu kamu berbohong. Aku tidak ingin menjalin hubungan denganmu, aku hanya ingin bersamamu sekali saja di kamar. Setelah itu aku akan memberimu uang yang banyak."


Christina langsung berwajah dingin. "Kata-katamu itu sudah termasuk pelecehan wanita, aku tidak sudi bersama pria semacam kamu. Cepat pergi atau aku akan menelepon polisi."


"Polisi?" Pria itu tertawa. "Kamu tidak tahu seberapa takutnya mereka padaku? Mau kamu teriak minta tolong ataupun menyeret mereka, mereka pasti akan mengabaikanmu!"


Kata-kata orang ini benar-benar arogan, Christina benar-benar benci pria macam ini. Dan orang-orang di sekitarnya sepertinya mengabaikan mereka jadi meminta tolong merupakan hal yang sulit bagi Christina.


"Kamu tidak memiliki banyak pilihan, temani aku satu malam saja maka aku tidak akan pernah mengganggumu lagi." Setelah berkata seperti itu, pria ini tiba-tiba tersedak. Dia lalu meludah di tanah, lendirnya benar-benar kental.


Christina dengan sigap melangkah mundur, orang ini benar-benar jorok.


"Tidak akan." Christina menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan pernah mau pergi bersamamu."


"Aku ini orang berhati besar jadi aku tidak pernah memaksa orang. Tetapi penolakanmu ini membuatku kehilangan wajah." Pria bernama Hans ini mendengus dingin. "Mau tidak mau, kau harus menemaniku hari ini."


Christina menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Aku tidak punya urusan denganmu, cepat pergi sana. Aku masih ada urusan."


"Kamu sendiri yang memaksaku memakai kekerasan." Hans tiba-tiba mencengkram kuat tangan Christina dan menyeretnya bersamanya.


"Hentikan! Apa yang kamu lakukan?" Christina sudah ketakutan. Hans sendiri sudah tidak peduli, hari ini pokoknya dia akan tidur dengan wanita ini. Tetapi pada saat ini, Hans merasa lajunya berhenti. Apa seorang perempuan bisa sekuat itu?


Hans lalu penasaran dan menatap ke belakangnya dan menemukan bahwa ada seorang pria yang menahan Christina sambil tersenyum.


Hans yang terkejut langsung marah. "Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak lihat aku dan perempuan ini sedang menikmati hari?"


Christina benar-benar lega melihat Randika, jika Randika tidak muncul entah apa yang akan terjadi pada dirinya.


Randika hanya menatap Hans dengan wajah tersenyum. "Memaksa perempuan melakukan kehendakmu itu sangatlah salah. Kau harus menghormati seorang wanita. Jika dia tidak ingin pergi bersamamu, kamu tidak punya hak untuk memaksanya."


"Kau ini memangnya siapa? Mau sok jadi pahlawan di hadapan perempuan ini?" Pria gemuk ini lalu menghela napas. "Percayalah, kau tidak bisa menyentuhku sama sekali."


"Oh ya?" Randika tersenyum nakal. Dia melepaskan genggaman tangan Hans dari tangan Christina dan mendorongnya. Hans langsung terpental beberapa langkah ke belakang.


Hans juga merupakan kekuatan dunia bawah tanah di kota ini dan dia sudah bertahun-tahun membantai orang-orang yang berani melawannya. Ditantang oleh Randika, dia justru makin bersemangat bukannya mundur dan pergi.


"Ternyata pahlawan palsu ini juga mengincar perempuan cantik ini?" Hans mendengus dingin. "Kalau begitu, mari kita lihat seberapa seriusnya kamu."


"Kenapa tidak?" Randika lalu tersenyum pada Christina. "Perempuan cantik ini memang lebih cocok dengan pria tampan sepertiku."


"Jangan berkhayal." Perut besar Hans kembali bergoyang. "Motifmu itu tidak jauh berbeda denganku. Pada akhirnya kau juga ingin menidurinya bukan? Mana mungkin perempuan itu mau sama kamu."


"Oh ya? Aku jelas berbeda denganmu." Kata Randika sambil tersenyum. Dia lalu berbalik dan menatap Christina. "Maukah kamu menghabiskan hari ini bersama denganku?"


Mendengar percakapan mereka berdua dan ajakan Randika itu, Christina menjadi marah. Dia hanya memalingkan wajahnya dan tidak mau menjawab.


Sialan, setidaknya bekerja samalah denganku untuk menyelamatkan mukaku!


"Hahaha sudah kubilang, perempuan benci bocah sok tampan sepertimu.��� Hans tertawa lepas.


Randika kehabisan kata-kata. "Kalau begitu baiklah. Karena perempuan ini tidak mau pergi bersamaku, aku akan pergi dan menonton film sendirian. Aku tidak peduli dia akan kamu perkosa atau bunuh, selamat tinggal."


Randika hanya membalikan badannya dan berjalan menjauhi Hans dan Christina. Tindakan ini benar-benar mengejutkan Christina.


"Hei, jangan pergi! Aku ikut!" Kata Christina dengan cepat.


Randika yang baru melangkah beberapa langkah itu tersenyum dan berputar.


Dia lalu menatap Hans dan mengatakan. "Bagaimana? Pesonaku mampu membuat dia tidak rela meninggalkanku bukan?"


Hans tidak tahu harus berkata apa, dia sedikit bingung dengan situasinya saat ini.


"Aku tidak peduli dia mau jalan sama siapa, yang pasti dia hari ini akan melayaniku." Hans lalu mengangkat tangannya. "Pergi dari sini atau aku akan menghajarmu."


"Oh? Kau mau berkelahi?" Randika jelas menerima tantangan ini. "Sini majulah, karena kau yang menantangku maka aku tidak akan menahan diri."


Hans juga tidak menahan dirinya. Meskipun perutnya itu gondal-gandul tidak karuan sampai-sampai kancing bajunya ada yang lepas, dia tetap menerjang Randika dengan kecepatan penuh!


Namun, pada saat ini sebuah pukulan sudah mendarat di matanya!


DUAK!


Hans langsung meringkuk kesakitan di tanah.


Randika dengan mudah meninju Hans hingga terjatuh di tanah. Suara keras yang timbul mungkin adalah jalanan aspal yang rusak karena pantatnya yang besar itu dengan kuat mendarat.


Hans berdiri dengan satu mata tertutup. Dia sedikit terkejut mengetahui lawannya bisa berkelahi. Namun, dia kembali menerjang Randika. Kali ini dia terjatuh lebih keras lagi.


Setelah terluka di mata dan di dadanya, rasa percaya diri Hans sudah setipis kertas. Dia lalu berdiri dengan susah payah dan mengatakan. "Lihat saja pembalasanku!"


Kemudian dia lari dari tempat itu.


Ketika pria gemuk itu sudah tidak terlihat, Randika menatap Christina sambil tersenyum. "Hari yang indah bukan?"


Christina hanya menjawab. "Terima kasih atas bantuanmu."


"Jangan khawatir, lagipula kita sudah bukan orang asing lagi bukan?" Randika mengibaskan tangannya. Mendengar hal itu entah kenapa Christina sedikit tersenyum, tetapi semuanya itu runtuh ketika Randika mengatakan. "Lagipula kamu masih berhutang budi denganku sekali jadi kalau hari ini dihitung maka hutang budimu sama aku menjadi 2."


Christina benar-benar kehabisan kata-kata mendengarnya, wajahnya kembali menjadi cemberut.


"Hei, hei, aku Cuma bercanda." Kata Randika sambil tertawa. "Sedang apa kamu di sini?"


"Lagi belanja." Christina lalu mengangkat kedua tas belanjanya.


"Kebetulan sekali, aku juga mau belanja." Randika lalu menyerang. "Mau pergi bersama-sama?"


"Maaf lain kali saja."


Sialan, Randika harus mengubah taktiknya.


"Baiklah kalau begitu, aku hanya ingin menemanimu agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Tetapi kalau kamu yang menolak maka aku tidak bisa memaksamu." Setelah berkata seperti itu, Randika pura-pura berjalan sambil melambaikan tangan.


"..."


"Tunggu!"


Kena deh!


...


"Kamu sudah beli apa saja?" Randika yang berjalan berdampingan dengan Christina ini penasaran dengan isi tas tersebut.


"Selain keperluan pribadi, sisanya obat-obatan." Jawab Christina.


"Obat? Obat apa?" Randika terlihat bingung. Seharusnya penyakit dada Christina itu sudah sembuh berkat dirinya, kenapa dia membeli obat?


"Obat untuk rematik." Jawab Christina. "Ibuku sudah terkena rematik selama bertahun-tahun. Baru-baru ini obatnya habis jadi aku membantu membelikannya."


Rematik benar-benar penyakit yang merepotkan, khususnya untuk orang yang sudah tua. Orang yang terkena tidak bisa jauh-jauh dari obatnya. Ketika udara dingin, penyakit ini akan terasa menyakitkan.


Namun bagi Randika, penyakit semacam rematik hanyalah masalah sepele.



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.