Menantu Pahlawan Negara by Sarjana

Chatper 426



Chatper 426

Chatper 426


Bab 426 Gedung Glori


Sigit berusaha membujuk Ardika dengan suara rendah.


Tadi, saat Ardika ditangkap, dia lihat keluarga Ardika bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun


untuk membelanya.


Sigit merasa kecewa dan sakit hati untuk Ardika.


Sekarang jelas–jelas dia sedang dituduh oleh orang lain, tetapi bahkan keluarganya pun tidak


memercayainya.


Ardika melambaikan tangannya dan berkata dengan meremehkan, “Hanya sekelompok orang bodoh


yang memainkan trik rendahan saja. Aku belum perlu mengungkapkan identitasku untuk membuktikan


diriku sendiri.”


“Aku ingin lihat permainan seperti apa yang akan dimainkan oleh sekelompok orang bodoh itu.”


Sorot mata Ardika berubah menjadi sangat dingin dan tajam.


Bahkan, dia sendiri tidak menyangka ada orang yang begitu cari mati dengan memainkan trik licik dan


menjadikan dirinya sebagai pion.


Setelah mendengar ucapan Ardika, perasaan Sigit makin campur aduk.


Dia tahu, alasan Ardika tidak mengungkapkan identitasnya adalah demi keselamatan semua penduduk


Kota Banyuli.


“Sigit, aku nggak perlu pergi ke kantor polisi pusat lagi, langsung antar aku ke pusat penahanan saja.


Aku nggak ingin mengganggu kerja kantor polisi pusat dan merepotkan kalian lagi,” kata Ardika.


Sigit buru–buru berkata, “Tuan Ardika, jangan berbicara seperti itu. Melindungi keselamatanmu adalah


tanggung jawab kami. Pusat penahanan nggak seaman kantor polisi pusat.”


“Mungkin anggota Grup Lautan Berlian nggak akan menyerah, mungkin akan ada yang menyelinap


masuk dan mencari masalah denganmu.”


Ardika berkata dengan acuh tak acuh, “Kalau aku berada di kantor polisi pusat, bagaimana mereka


bisa berinisiatif menunjukkan diri mereka di hadapanku?”


Setelah mendengar ucapan Ardika, Sigit sudah mengerti. Karena Ardika ingin menjadikan dirinya


sendiri sebagai umpan untuk memancing orang–orang di balik semua ini keluar. Jadi, Sigit tidak


banyak bicara lagi.


Dia langsung mengantar Ardika ke pusat penahanan.


Selain itu, dia juga menambah anggota kepolisian untuk berjaga, seolah–olah akan menjalankan


sebuah tugas yang sangat penting.


Kemudian, Sigit juga mengirimkan sebuah tim yang bertanggung jawab dalam hal interogasi ke sini.


seolah–olah akan melakukan interogasi terhadap Ardika di sini.


Gedung Glori.


Dulu tempat ini adalah markas besar Aliansi Lautan Berlian.


Sejak Aliansi Lautan Berlian berubah menjadi Grup Lautan Berlian, sebagian orang yang bertanggung


jawab dalam menjalankan bisnis sudah pindah ke Gedung Permata.


Sementara itu, Gedung Glori menjadi tempat berkumpulnya anak buah Alden yang bertanggung jawab


atas urusan dunia preman.


Sebenarnya, tempat ini baru merupakan inti dari Grup Lautan Berlian.


Alasan bisnis Grup Lautan Berlian bisa berkembang sebesar ini adalah karena mengandalkan


kekuatan mereka di dunia preman.


Saat ini, baik di dalam maupun di luar Gedung Glori dipenuhi dengan isak tangis. Suasana berduka


memenuhi tempat ini.


Aula duka Alden sudah ditata dengan baik.


Sebuah peti mati diletakkan di aula besar di lantai satu Gedung Glori.


Saat ini, mayat Alden sedang diganti pakalannya, dirias, lalu dimasukkan ke dalam peti mati oleh


seseorang.


Edrik sendiri yang melakukan semua ini.


Ekspresi sedih terpampang jelas di wajahnya. Dia tampak sibuk mengatur semuanya, bahkan


menggantikan pakaian Alden, ayah angkatnya yang sudah berubah menjadi mayat secara pribadi


tanpa


ragu.


Setelah mendengar berita kematian Alden, para anggota lama Aliansi Lautan Berlian yang datang


untuk memberi penghormatan terakhir melihat dengan jelas semua gerak–gerik Edrik. Diam–diam,


mereka menganggukkan kepala mereka.


“Nona Tina sudah pulang.”


Tepat pada saat ini, ada seseorang yang datang melaporkan kedatangan Tina.


Semua orang mengalihkan pandangan mereka ke arah Tina. Mereka hanya melihat Tina beserta anak


buah yang dibawanya ke Hotel Puritama tadi memasuki aula dengan tergesa–gesa.


Melihat foto Alden yang terpajang di depan aula duka ayah angkatnya itu, Tina berusaha keras


menahan rasa sakit yang menghujam hatinya dan melangkah ke depan, hendak berlutut untuk


memberi


+15 BONUS


penghormatan terakhir kepada Alden.


“Tunggu!”


Seorang pria tua gemuk menghentikannya dan bertanya dengan dingin, “Tina, di mana orangnya?


Kenapa kamu nggak membawanya pulang?!”


Tina tahu orang yang dimaksud oleh pria tua itu adalah Ardika.


“Paman Bromo, Ardika sudah ditangkap oleh Sigit, ketua kantor polisi pusat. Sigit mengatakan mereka


akan menginterogasinya,” kata Tina dengan penuh hormat.


Pria tua yang dipanggil Paman Bromo oleh Tina ini adalah sahabat lama Alden. Dulu, mereka


membentuk Aliansi Lautan Berlian bersama.


Hanya segelintir orang yang mengetahui nama aslinya. Orang–orang terhormat di dunia preman


memanggilnya Bromo, sedangkan orang biasa memanggilnya Paman Bromo atau Tuan Bromo.


Bromo Lukito juga merupakan pemegang saham Grup Lautan Berlian, status dan kedudukannya


sangat


tinggi.


“Tina, dasar lancang!”


“Bocah itu jelas–jelas nggak tahu balas budi! Dia sudah membunuh Kak Alden! Seharusnya dia dibawa


ke aula duka Kak Alden, menerima hukuman tiga tusukan, lalu membunuhnya di tempat. Dengan


begitu. Kak Alden baru bisa tenang di alam sana!”


“Kamu malah melihat bocah itu dibawa pergi oleh anggota kepolisian begitu saja! Apa maksudmu?!”


Sorot mata Bromo tampak dipenuhi api amarah. Dia menunjuk Tina dan langsung memarahi Tina


tanpa berbasa–basi lagi.



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.