Menantu Pahlawan Negara by Sarjana

Chatper 435



Chatper 435

Chatper 435


Bab 435 Kebetulan Menyulut Emosi


Tiba–tiba Ardika mendongak dan menatap Alvaro dengan lekat!


Dalam sekejap, aura membunuh yang kuat menyelimuti Alvaro!


Melihat ekspresi Ardika dan merasakan aura menakutkannya, ekspresi Alvaro sedikit berubah. Dia


segera melangkah mundur dua langkah.


Dia teringat bahwa kekuatan Ardika luar biasa besar. Hari itu, saat di tempat perjudian, satu tendangan


dari Ardika mampu mematahkan beberapa tulang anak buahnya.


“Kenapa, hah?! Ardika, apa kamu mau membunuh orang di sini? Apa kamu nggak tahu tempat apa


ini?!”


Tarno menegur Ardika dengan ekspresi galak, lalu tertawa dingin dan berkata, “Ucapan Tuan Muda


Alvaro tadi nggak salah. Aku juga akan menjadi orang yang membantumu menjaga istrimu.”


Dia mengalihkan pandangannya ke arah Alvaro dan berkata, “Bagaimana, Tuan Muda Alvaro? Kamu


nggak keberatan, “kan?”


Alvaro tertawa terbahak–bahak dan berkata, “Tentu saja aku nggak keberatan. Tapi, tetap harus


tunggu giliran, ya. Aku yang duluan menjaganya


“Bam!”


Dengan iringan suara hantaman yang keras, suara tawa Alvaro langsung berhenti.


Tiba–tiba, Tamno langsung terpental dan menabrak dinding dengan keras. Kemudian, pria itu langsung


terjatuh lemas ke lantai!


Beberapa orang penjahat segera menghampiri Alvaro untuk memapahnya.


Saat itu, darah tampak mengalir dari mulut dan hidung Tamo, sorot matanya juga sudah redup.


Salah seorang penjahat mengulurkan tangannya ke arah hidung Tamo. Seketika itu pula, ekspresinya


langsung berubah drastis.


“Kak Tarno sudah mati!” seru penjahat itu dengan histeris. Saking ketakutannya, dia langsung


menjauhi


mayat Tamno dan terduduk lemas di lantai.


Semua penjahat di dalam ruangan itu menatap Ardika dengan tatapan ketakutan.


Mereka bahkan tidak sempat melihat pergerakan Ardika, Tamo langsung terpental dan tewas di


tempat!


“Ardika, berani–beraninya kamu membunuh orang tepat di hadapan kami!”


Alvaro menatap Ardika dengan lekat, dia juga merasa sangat ketakutan.


“Kenapa aku nggak berani? Sekarang giliranmu.”


Ardika menyunggingkan seulas senyum, lalu melangkahkan kakinya ke arah Alvaro.


“Bantu aku hentikan dia!” teriak Alvaro pada pembunuh lainnya dengan marah sambil melarikan diri.


Para pembunuh lainnya langsung menerjang ke arah Ardika secara bersamaan. Detik berikutnya,


mereka semua langsung terpental, ada yang menabrak dinding, ada pula yang terjatuh ke lantai.


“Brak… brak….”


Alvaro langsung menerjang ke arah pintu besi, memukul–mukul pintu besi dan berteriak, “Buka


pintunya! Tolong Ah!”


Ardika langsung menarik lehernya, menyeretnya masuk kembali dan membuangnya ke lantai.


“Brak!”


Melihat tidak ada harapan untuk melarikan diri, Alvaro langsung berlutut di lantai dan bersujud tanpa


henti di hadapan Ardika. Dengan air yang bercucuran membasahi wajahnya, dia berkata, “Ardika, aku


sudah bersalah. Tolong ampuni nyawaku. Aku nggak akan menjaga istrimu lagi, aku nggak akan


menjaga istrimu lagi


“Sudah terlambat!”


Tanpa ada perubahan pada ekspresinya, Ardika langsung mengayunkan lengannya dan memukul


kepala Alvaro dengan keras!


Dalam sekejap. Alvaro langsung terjatuh ke lantai dan bersimbah darah.


Dia tewas dengan mengenaskan!


Karena Luna mengumumkan perceraian dengannya, api amarah memang sudah bergejolak dalam hati


Ardika.


Alvaro dan Tarno kebetulan menyulut emosinya pula.


Karena itulah, mereka berubah menjadi alat pelampiasan amarah Ardika.


“Ah! Ah! Pembunuhan! Ada orang yang dibunuh


“Aku mau pindah! Tempat ini ada monster yang mengerikan!”


Teriakan ketakutan dan menyedihkan para penjahat itu menggema di seluruh ruangan.


Dalam sekejap, seluruh pusat penahanan langsung gempar.


Di bawah kesaksian para penjahat yang menyatakan bahwa Ardika telah melakukan pembunuhan,


Ardika dikurung di dalam sebuah ruangan interogasi.


Randy Zimus, penanggung jawab pusat penahanan segera memasuki ruang interogasi bersama


anggotanya. Begitu masuk ke dalam ruangan, dia langsung mengeluarkan pistolnya dan menunjuk


Ardika dengan pistolnya.


“Berani–beraninya kamu membunuh Tuan Muda Alvaro dan Pak Tarno! Apa kamu tahu siapa


mereka?!”


Ardika melirik puntung rokok di asbak di sampingnya, lalu berkata dengan acuh tak acuh, “Sebaiknya


kamu jangan menunjukku dengan pistolmu.


“Menunjukmu? Aku bahkan ingin menembak mati kamu!”


Randy menempatkan jarinya di pelatuk dan tampak marah besar.


Sejak Alvaro dan Tarno dikurung di sini, dia memperlakukan mereka berdua seperti memperlakukan


leluhurnya karena takut terjadi sesuatu pada tokoh hebat itu.


Sekarang, dua orang itu malah mati di tangan Ardika. Kalau sampai Billy menyalahkannya, bagaimana


dia bisa memberi penjelasan?


“Kalau kamu menembak, kamu pasti akan menyesal.”


Ardika tetap tampak tenang.



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.