Ruang Untukmu

Bab 1068



Bab 1068

Bab 1068


Bab 1068


Raisa membawa segelas air untuknya. “Minumlah, setelah itu minum obatmu.”


Rendra mengambil gelas itu darinya dan duduk di sofa. Saat dengan patuh dia meminum obatnya, Raisa duduk di sebelahnya dan memerhatikannya, tampak kesedihan di kedua matanya.


“Kamu harus kembali tidur.” Dia menoleh dan menatap Raisa.)


Raisa menggeleng. “Tidak, saya harus merawatmu.”


“Saya akan segera pulih setelah minum obat ini.” Rendra memerhatikan bahwa Raisa masih mengantuk, dan tidak ingin mengganggu waktu tidurnya.


“Tidak akan bisa tidur juga. Dokter meminta şaya untuk menjagamu.” Setelah berkata, Raisa pindah untuk duduk di sebelahnya, dan kemudian meletakkan tangannya yang mungil dan pucat di kening Rendra yang lebar dan licin, yang masih berkeringat. Kemudian Raisa menyentuh keningnya sendiri untuk membandingkan, dan benar saja, suhu tubuhnya masih tinggi.


“Kamu masih demam. Apakah ingin saya kompres untuk mendinginkan?” tanya Raisa.


Ujung mulut Rendra melengkung ke atas dan mengangguk. Demam tinggi membuat wajah tampannya merona, dan matanya tampak kabur di bawah cahaya temaram. Karena tersenyum, lesung pipinya terlihat lagi, memberinya pesona maskulin.


Seperti dihantam sesuatu, jantung Raisa segera berdebar–debar. Dia mengerutkan bibir merahnya lalu bangkit berdiri. “Saya mau ambil handuk.”


Setelah mendapatkan handuk bersih, dia membasahinya dan kembali ke sofa, lalu menuangkan alkohol ke atasnya. Namun, dia tidak tahu bagian tubuhnya yang mana yang harus dia seka.


Di saat bersamaan, pelan–pelan Rendra melonggarkan jubah malamnya dan mengulurkan tangan untuk menarik bagian depan jubahnya agar terbuka, memperlihatkan dadanya yang bidang dan menggoda sambil berkata dengan suara parau, “Seka di sini.”


Otak Raisa berdengung dan tersipu malu. Dia kemudian menyeka dadanya dengan handuk, tetapi tidak berani menatap wajahnya. Sambil terus menyeka, tiba–tiba sebuah lengan melingkar di pinggangnya, membuatnya jatuh ke dalam pelukan laki–laki itu. Wajahnya membentur satu sisi


dada Rendra.


“Ja–Jangan ganggu tugas saya,” Raisa menegurnya dengan raut wajah serius. Dia menopang dirinya di atas dada Rendra sambil lanjut menyeka, sementara di saat yang sama menggerakkan handuk itu ke tulang belikatnya yang tajam untuk menyeka lehernya.


Rendra dalam keadaan sakit. Kenapa dia masih saja jahil dan main–main seperti ini?


Akan tetapi, Rendra masih terus menggodanya. Dia menyandarkan kepalanya ke sofa, membuat wajah tampannya terpapar cahaya lampu sambil mengamati wajah Raisa dari dekat dengan sorot mata tajam.


Raisa fokus menyeka tubuhnya sehingga mengabaikan pandangan tajam Rendra padanya. Dia hanya ingin menurunkan suhu tubuhnya dengan cepat. Namun, dia tidak menyadari kalau


jaraknya saat ini dan tangannya yang menyeka tubuh itu tidak membantu menurunkan suhu tubuhnya, tetapi justru memperparah.


Rendra mengulurkan tangan untuk menyelipkan rambut Raisa ke belakang telinganya. Lalu, tatapannya terpaku pada bibirnya yang merah jambu. Lidahnya tercekat, dirinya seakan seekor kucing yang berbahaya dan siap menerkam.


Setelah selesai menyeka dan hendak bangkit untuk menuangkan alkohol lagi ke handuk, kedua pergelangan tangannya dicengkeram, dan membuat tubuh Raisa terjatuh. Karena tubuhnya memanas, Rendra menghimpit dan mengunci lengannya ke atas kepalanya. Tak lama kemudian, sensasi bahaya menjalar saat wajah tampannya mendekat ke arahnya.


“Re-—“Sebelum sempat memanggil namanya, Rendra sudah menciumnya, bibirnya yang hangat terasa lebih bergairah dari biasanya.


Raisa tanpa


sadar menutup matanya dan berusaha mengontrol napasnya supaya bisa mengikuti alur ciumannya. Dia tidak tahu cara berciuman, napasnya sempat tersengal–sengal saat ciuman yang pertama dan kedua. Namun, setelah itu tampaknya dia lebih mahir, entah mengapa.


Saat mereka berciuman, Raisa merasa gugup, seolah tertular gejala yang dialaminya. Napasnya lambat laun menjadi cepat, wajahnya memerah, bibirnya didominasi dengan gairah nafsu. Akhirnya, dia menyadari telah masuk ke dalam perangkap bahaya.


Tiba–tiba Raisa menegang dan tersipu malu sambil menggertakkan giginya, dan mendorongnya Tidak… Rendra…” Karena kemesraan di antara mereka ini membuatnya takut dan gelisah, Raisa un protes.


apas Rendra juga tersengal–sengal, tubuhnya yang terbakar terasa lebih panas dari sebelumnya ia menopang tubuh dengan tangannya, tidak membiarkan Raisa lepas dari pelukannya. Ketika endorong dadanya dengan tangan mungilnya sehingga merasakan panas dan debaran kencang tungnya, telapak tangan Raisa berkeringat.



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.