Ruang Untukmu

Bab 1141



Bab 1141

Bab 1141


Bab 1141 Salju Pertama


Rendra merasa tidak enak saat melihatnya makan dengan tergesa–gesa. “Pelan–pelan. Tidak ada yang akan melarangmu makan,” tegurnya.


“Tapi saya sangat lapar! Saya hanya makan beberapa gigitan di rumahmu hari ini,” seru Raisa, namun perkataannya sedikit teredam karena mulutnya begitu penuh.


Rendra memberinya senyum penuh kasih sayang. “Kamu tidak akan bisa tidur malam ini kalau kamu terlalu kenyang.”


“kalau begitu, jika saya tidak bisa tidur malam ini, bolehkah saya menginap besok?” tanya Raisa.. Dia merasa perlu meminta izinnya setiap kali dia ingin tidur di rumah pria itu, atau dia tidak akan bisa tidur nyenyak.


“Kamu boleh tidur selama yang kamu mau,” janji Rendra saat senyumnya melebar.


Raisa menatapnya dan bertanya, “Bagaimana saya harus memanggilmu sekarang?”


“Kamu lebih suka apa?” Rendra memberanikan diri dengan penuh harap.


“Rendra,” kata Raisa. Dengan menghilangkan kata ‘Om‘, rasanya seperti mereka menjadi sederajat sekarang.


“Baiklah. Untuk saat ini kamu bisa memanggil saya seperti itu, tapi kamu harus menggunakan nama panggilan lain setelah pemilu bulan Mei,” Rendra mengingatkan. Dia tidak sabar untuk mendengar Raisa memanggilnya dengan sesuatu yang sama sekali berbeda.


Pikiran Raisa pada awalnya kosong, namun ketika dia menyadari apa yang Rendra maksud, dia tersipu dan mengangguk malu–malu.


“Oke. Ketika saatnya tiba, saya akan memanggilmu suami.”


Rendra belum makan banyak, namun kini, dia tahu bahwa bahwa bukan perutnya yang lapar. Setiap pembuluh dalam dirinya mendambakan wanita yang duduk di hadapannya saat ini. Dia hampir tidak bisa menyingkirkan perasaan itu. Dia baik–baik saja saat Raisa tidak berada di dekatnya, namun kini dia ada di sini bersamanya dan tersenyum begitu cerah, dia mendapati bahwa kesabarannya sedang diuji hingga batasnya.


Tiba–tiba, suara gedebuk terdengar dari jendela. Ketika Raisa menoleh untuk memeriksa dan melihat apa yang terjadi, matanya membelalak kaget dan dia berseru, “Salju turun!”


Dia segera meletakkan peralatan makannya dan bergegas ke taman untuk menikmati hujan salju pertama tahun ini.


Ketika Rendra menyusulnya, pria itu menemukan Raisa yang sedang berputar–putar di salju seperti anak kecil periang yang mencoba menemukan kepingan salju tercantik. Dia berdiri di sana sejenak untuk menonton Raisa ketika tiba–tiba, wanita itu menjadi pusing dan tersandung ke arahnya.


Segera, dia merentangkan tangannya untuk menangkap wanita itu. Raisa hampir lupa tentang pingsannya hari ini. Dia masih sedikit lemah karena kekurangan oksigen dan tidak boleh


melakukan aktivitas berat, termasuk berputar–putar.


Syukurlah, Rendra ada di dekatnya. Dalam keadaan pusing, Raisa secara naluriah jatuh ke pelukannya.


Rendra memeganginya dan membungkuk untuk mengamati wajahnya. Raisa masih berusaha mengatur napas, namun dia membenamkan kepalanya di dada Rendra dan menolak untuk pergi.


Pria itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Raisa selagi dia terkekeh penuh kasih.


Raisa menatapnya dan mengedip–ngedipkan matanya. “Apa saya cantik, Rendra?”


Mata Rendra sedikit mengerjap saat wajah cantik milik wanita yang kini berada di pelukannya membuat pikirannya mengembara. Raisa bukan wanita tercantik di dunia, namun dialah yang paling Rendra cintai. Tidak ada yang bisa menggantikan senyum di wajahnya ataupun suaranya. Dia adalah sumber cahaya dan harapannya.


“Kamu cantik,” katanya.


“Kini karena kita sedang berdiri bersama di salju, kita tahu bagaimana rasanya bersama sampai rambut kita memutih!” Raisa berkata dengan gembira selagi dia memeluk Rendra.


Rendra terpikat padanya, termasuk semua hal mengemaskan yang dikatakannya. “Ya. Kita akan tetap bersama meski rambut kita memutih, atau lebih tepatnya, beruban.”


Raisa menatap pemandangan di hadapannya. Bintik–bintik salju yang berhamburan di sekitar mereka diterangi oleh cahaya lampu jalan. Salju itu membentuk titik–titik di rambut dan pakaiannya, dan dia menjadi linglung saat dia melihat pemandangan indah yang memenuhi matanya. Sementara itu, Rendra menggendongnya kembali ke rumah.


“Kamu bisa flu jika terus berdiri di salju seperti itu. Saya tidak ingin kamu benar–benar menghabiskan seluruh waktumu untuk memulihkan diri di sini,” kata Rendra karena khawatir.


Raisa tersenyum. “Lalu untuk apa saya di sini?”


“Untuk menemani saya,” Rendra memberitahukan


Raisa tersipu. “Untuk menemanimu saat bekerja, atau untuk hal lain?”


Rendra sering berpikir bahwa Raisa memiliki pikiran yang polos, tetapi perkataannya dipenuhi makna terpendam.


“Saya tidak akan memprotes apa pun yang ingin kamu lakukan dengan saya. Satu–satunya hal yang penting adalah apa yang kamu inginkan.” Seringai Rendra membuatnya terdengar semakin sugesti.


Raisa berbalik dengan malu–malu. Pada saat yang sama, dia menerima notifikasi di ponselnya, jadi dia menggunakannya sebagai alasan untuk melarikan diri. “Biarkan saya memeriksa ponsel saya.”


Dia duduk di sofa, namun dia membeku ketika dia melihat pesan itu. Itu dari Yanuar.



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.