Ruang Untukmu

Bab 177



Bab 177

Bab 177


Bab 177


Kemudian, Tasya menoleh pada Elan dan dengan santai berkomentar, “Terima kasih atas tawaran baiknya, Pak Elan.”


Namun, Nando buru–buru bangkit dari tempat duduknya dan ikut menawarkan, “Tasya, aku bisa memberimu tumpangan.”


Tasya dengan cepat berbalik. “Nando, tetaplah di sini dan selesaikan santapanmu bersama nenek. Aku akan menumpang Pak Elan karena kami menuju ke arah yang sama.”


Setelah itu, Nando hanya bisa melihat tanpa daya saat mereka pergi bersama, Sekali lagi, dia tidak bisa menahan rasa sedih yang muncul. Apakah Tasya tertarik pada Elan?


Saat memasuki lift, Tasya dengan sangat merasakan bahwa suasana hati pria di sebelahnya sedang dalam keadaan buruk. Ekspresi wajahnya terlihat suram, dan seolah–olah baru saja menderita kerugian besar dalam bisnisnya. Seketika, dia merasa sangat enggan untuk ikut menumpang di mobilnya. Jadi begitu pintu lift terbuka dengan bunyi ‘ping:


Tasya menoleh ke Elan dan segera berkata, “Pak Elan, terima kasih atas tawarannya, tapi saya akan naik taksi saja.”


“Mengapa?” Elan menatapnya.


Mengapa?! Itu karena kamu tampak jelas sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi sebaiknya aku menghindari masalah!


“Tidak apa–apa. Aku hanya ingin naik taksi,” Tasya mengangkat kepalanya dan menjawab, sebelum dengan cepat berjalan ke arah jalan. Tiba–tiba, tangan yang besar terulur dan dengan posesif meraih


pergelangan tangannya sebelum menyeretnya ke arah mobil. Elan membuka pintu kursi penumpang depan dan memberi isyarat padanya untuk masuk ke mobil.


Sementara itu, Tasya mengerutkan kening. Orang ini terlalu memaksa! Tidak bisakah aku pulang sendiri tanpa menumpang dengannya?!


Pada akhirnya, Tasya masuk ke dalam mobil, dan Elan menyusul dengan duduk di kursi pengemudi. Selanjutnya, mobil hitam itu melaju dan


perlahan mengarah ke jalan raya.


Tasya cukup bingung mengapa Elan tiba–tiba kehilangan kesabaran. Tetapi dia tetap tidak tahu alasannya meski sudah memeras otak saat memikirkannya. Dia seorang yang tak terduga, dan emosinya cukup tak bisa ditebak hampir setiap saat.


Tiba–tiba, suara Elan dengan nada rendah terdengar menginterogasi. “Kamu mengatakan bahwa berniat untuk tetap melajang selama sisa hidupmu. Apa kamu serius saat mengatakannya?”


Tasya tercengang lalu menoleh untuk menatap sosok tampan di sampingnya. Demikian pula Elan, dia menoleh dan mereka saling bertatapan.


“Tentu saja aku serius! Lagipula aku tidak punya niat untuk menikah.” Tasya tidak terbiasa berbohong. Dia merasa cukup bahagia dan puas dengan kehidupan yang dimiliki bersama putranya saat ini. Dadi dia merasa tidak ada gunanya menambah masalah dalam kehidupannya yang damai sekarang.


Menikah tidak selalu menjamin kehidupan yang bahagia, dan juga, tetap melajang tidak berarti bahwa hidup seseorang pasti akan menjadi sengsara.


“Jika Jodi juga menyukai pria yang mengejarmu, apakah kamu akan tetap mempertahankan keputusan untuk tidak menikah?” Elan terus mengajukan pertanyaan padanya. Secara kebetulan, mobil mereka


berhenti di depan lampu lalu lintas. Jadi dia bisa terus menatap tajam ke arahnya.


Seketika, Tasya menyadari bahwa orang yang dimaksud Elan adalah dirinya sendiri.


Dia menelan ludah dan menoleh ke arah lain sambil melihat keluar jendela. Pada saat yang sama, dia menggelengkan kepalanya dengan kuat. “Aku tidak berencana untuk menikah. aku berencana untuk membesarkan Jodi sendiri.


Tiba–tiba, Elan merasakan sakit yang tajam inenusuk hatinya setelah mendengar kata–katanya. Dia tahu bahwa diriku sendiri yang kumaksud. namun, dia masih bersikeras memberikan jawaban yang begitu kejam,


“Tasya, bisakah kamu mempertimbangkan sesuatu dari sudut pandang


orang lain? Jangan terus bersembunyi di duniamu sendiri dan menghindari perasaan orang lain.” Elan berbicara dengan gigi terkatup saat mengarahkan matanya yang dalam padanya. Dia merasa sangat marah saat ini.


Tasya kembali menoleh untuk menatapnya. Ekspresinya saat ini sangat mengintimidasi dan tatapannya penuh dengan rasa frustasi.


“Elan, kamu bahkan tidak tahu apa yang telah kualami dan tidak mengenalku sama sekali, jadi jangan berani sembarangan mengambil kesimpulan tentang pilihan hidupku!” Tasya ikut terbawa amarah. Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia tetap merasa sangat kesal, jadi dia melanjutkan omelannya, “Aku sudah memberitahumu sebelumnya. Kamu tidak perlu membayar kebaikan apapun padaku. Jadi bisakah kamu berhenti memaksakan perasaanmu padaku? Hubungan ini tidak akan menghasilkan apa–apa. Hentikan mobilnya. Aku ingin keluar dari mobil.”


Sementara itu, Elan yang memegang setir terlihat semakin mengeratkan genggamannya. Tidak pernah ada wanita yang dapat dengan mudah memicu kemarahannya hanya dengan beberapa kalimat.


Namun, dia tidak menepi. Dia terus melihat ke arah jalan dan kemarahannya tiba–tiba menghilang saat dia dengan tenang menjawab, “Aku akan mengantarmu kembali ke kantor.”


Tasya tercengang, jadi dia berbalik untuk menatap wajah Elan yang sedang sibuk mengemudi di sisinya. Dia bisa merasakan hati Elan yang dingin dan berjarak yang muncul, dan berpikir, Apakah kata–kataku sudah melewati batas tadi?


“Elan, kenapa tidak bercerita saja soal hubunganmu dan Helen? Aku ingin tahu lebih banyak.” Tasya mencoba mengubah topik pembicaraan.


Namun, tanpa diduga, Tasya baru saja menyinggung titik sensitif Elan, dan topik itu tidak ingin dia bahas, jadi dia dengan dingin menjawab, “Saya tidak ingin membicarakannya.”


Pada akhirnya, Tasya tidak punya pilihan selain tutup mulut. Dia menyadari, Elan benar–benar tak terduga.


Previous Chapter


Next Chapter



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.