Ruang Untukmu

Bab 232



Bab 232

Bab 232


Ruang Untukmu


Bab 232


Terlanda kepanikan, Tasya menutup mulutnya dan mengambil selembar tisu, sementara Elan, yang duduk di


seberangnya, langsung menunjukkan perhatiannya, “Apakah tehnya masih panas? Coba lihat.”


Tasya yang menutup mulutnya, menggeleng geleng. “Ah, tak apa, a aku baik–baik saja.” Hanya lidahku yang melepuh.


Oleh karena itu, Elan segera meminta pelayan untuk mengambilkan segelas air es untuk mendinginkan lidah Tasya yang melepuh. Saat menu masakan laut terhidang di meja, dengan semangat Tasya mulai memanjakan diri dan menyantapnya segera, tetapi, Elan malah bersikap tenang dan anggun seperti biasanya, bahkan di depan sajian masakan laut yang sangat meneteskan air liur itu. Tak heran, selama hidup dia sudah mencoba semua jenis makanan lezat dan hampir tidak terkesan dengan santapan laut yang sedang dinikmati Tasya.


Sementara itu, Tasya menggigit kaki kepiting seperti seekor anak kucing kelaparan, dan memastikan telah melahap semua daging yang ada di dalam cangkang, memperlihatkan betapa kuat giginya dengan tidak meninggalkan sisa sedikit pun.


“Hati–hati dengan gigimu.” Laki–laki mengingatkan dirinya sambil mengernyitkan alisnya.


Di tengah kegiatan santap makanan itu, Elan bangkit dari kursinya untuk pergi sebentar. Sementara itu, Tasya merasa puas dengan makanannya sambil menoleh ke jendela melihat pemandangan indah di sana. Wow! Tampaknya tidak ada batas di seberang laut sana, dan sekumpulan kapal pesiar yang sedang berlayar membuat pemandangan itu semakin menyegarkan. Aku berharap seluruh


permasalahan yang menggangguku ikut terbawa oleh angin laut dan pemandangan indah ini. Saat kembali ke kursinya, Elan melihat jam dan berkata, “Ayo, waktunya kita pergi.”


“Baiklah, tunggu sebentar, aku selesaikan pembayarannya dulu.” Tasya lalu bangkit dari kursinya.


“Tidak perlu. Sudah kubayar.” Elan menatapnya dengan mata nakal, sementara Tasya yang terkejut merasa heran


kenapa dia harus mendahuluinya membayar makanan ini.


Apa?! Kenapa dia bersikeras membayar makanan ini segala? “Kenapa kamu buru–buru membayar makanan ini? Apakah kamu terobsesi untuk membayar tagihan restoran?” Tasya merasa sedikit tidak senang karena laki–laki itu tidak


membiarkan Tasya menjamunya, meskipun dia sudah menawarkan diri.


“Ayo.” Elan mengabaikan keluhan gadis ini dan melangkah anggun menuju pintu keluar restoran, membuat banyak


orang menoleh karena aura kemewahan yang dia pancarkan. Di sisi lain, ada segelintir perempuan yang sedang duduk


di meja lain, yang sampai tidak bisa memalingkan matanya dari laki laki tampan itu.


Dalam sekejap, Tasya menjadi orang yang dicemburui oleh kumpulan perempuan, yang mana sering dialaminya sejak


Elan masuk ke dalam kehidupannya. Beberapa menit kemudian, Tasya mengikuti Elan dari belakang dan sampai ke


mobil, lalu dengan bangga mengeluarkan kunci mobil untuk membuka pintunya. Akan tetapi, dia segera melihat Elan


berjalan menuju bangku penumpang Tasya pun berteriak memanggilnya, “Pak Elan, kenapa duduk di situ? Kamu harus membantu mengemudikan mobilku ini.”


“Tidak, kamu sendiri saja yang melakukan.” Elan membuka pintu mobil dan menjawab Tasya sekenanya.


*Tunggu sebentar! Tetapi kita akan kembali ke kota!” Tasya merasakan kegelisahan menjalar di dalam dirinya. Namun, saat dilihatnya laki-laki itu duduk di bangku penumpang depan, dia hanya bisa menghentakkan kakinya dengan tidak berdaya dan menyemangati dirinya sendiri untuk melakukan yang seharusnya dilakukan. Lalu, dia memerhatikan laki laki itu mulai memasang dan mengencangkan sabuk pengaman dan tangannya berada di sandaran kepalanya seakan dia memiliki fobia parah terhadap sopir perempuan. Oleh karena itu, Tasya sengaja menakut–nakuti Elan, “Duduk yang


benar, Pak Elan. Sopir perempuanmu baru bisa mengemudi ini akan segera melaju ke jalan raya.”


“Jangan bercanda dan fokus pada jalan raya.” Elan mengangkat kepalanya, menceramahi Tasya dan mendesaknya agar serius mengemudi.


Setelah itu, Tasya dengan gugup melaju ke jalan, mengemudi di jalan raya bebas hambatan yang membentang dari pinggir pantai ke kota. Awalnya, dia menyetir dengan nyaman di jalan yang sepi dari kendaraan. Namun, saat lalu lintas semakin ramai, Tasya mulai merasa tidak nyaman dan tertekan sampai telapak tangan dan dahinya berkeringat.


Setelah memasuki daerah perkotaan, Tasya mulai menggerutu dengan gelisah. “Kenapa orang–orang di belakang terus mendesakku untuk melaju cepat? Memangnya aku berkendara di jalur yang salah?”


“Pak Elan, bisa kasih saran kapan aku bisa berganti jalur?”


“Apakah peta ini mengarahkan ke jalan yang salah? Sepertinya aku berada di jalur yang salah, Pak Elan.”


“Kenapa mobil di depanku jalannya lambat sekali? Bahkan seekor kura–kura berjalan lebih cepat dari mobilitu.


Sekarang, bagaimana aku bisa mendahuluinya?”


“Kenapa kamu mendesakku, tolol?! Tidak bisakah kamu memperlakukan pengemudi baru dengan lebih ramah ?”


Tasya mulai kehilangan kesabaran. Laki–laki yang ada di sebelahnya mengingatkannya untuk tetap tenang. “Kamu


harus berkepala dingin saat mengemudi.”


Tasya menjawab sambil frustasi. “Apa yang dia lakukan?! Jika tidak menginjak pedal rem tepat pada waktunya, aku.


pasti sudah menabraknya.” Setelah melaju beberapa saat, sebuah mobil sport tiba–tiba melaju kencang melewati mobil Tasya, membuatnya terperanjat sampai membanting setir ke samping, sementara Elan melihat ke arahnya dengan bingung


Previous Chapter


Next Chapter



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.