Ruang Untukmu

Bab 661



Bab 661

Bab 661


Bab 661


5 mutiara


“Karena kamu sudah banyak membantu, kelihatannya saya tidak bisa menolak tawaran itu, Elan. Kamu sungguh baik telah memuji saya. Mungkin saya harus mentraktirmu makan siang sebagai tanda terima kasih karena sudah merekomendasikan saya?” tanya Luna, yang menyelipkan ajakan makan siang sealami mungkin.


Elan langsung menolak dengan sopan, “Tidak, terima kasih. Saya sudah ada acara lain di siang nanti. Mungkin lain kali.”


“Baiklah, kapan tepatnya lain kali itu?” Luna tidak menyerah untuk menghabiskan waktu berdua dengan Elan.


“Tergantung,” jawab Elan samar-samar. Elan tidak punya rencana untuk menerima tanda ucapan terima kasih dari Luna “Saya akan memberitahumu ketika saya punya waktu.”


“Benarkah? Saya akan memegang perkataanmu,” kata Luna dengan riang, menggoda dengan halus. Luna tahu bahwa mendesak Elan lebih jauh hanya akan membuat Elan kesal, atau lebih buruk lagi, membuat Elan curiga padanya. Namun demikian, Luna tidak meninggalkan kantor setelah itu dan hanya mengipasi dirinya sendiri sehingga aroma samar parfumnya akan tercium oleh Elan. “Ngomong- ngomong, saya haus karena terburu- buru saat datang ke sini. Bisakah saya minta secangkir teh?”


Menyadari hal ini, Elan menoleh ke arah Roy, “Ambilkan dua cangkir teh.”


Ketika Roy meninggalkan ruang kantor, Luna bangkit berdiri dari sofa dan berjalan dengan acuh tak acuh ke dinding kaca, berjemur di bawah sinar matahari sore yang masuk ke dalam kantor. Luna


bertahun-tahun telah mengencangkan tubuhnya di pusat kebugaran yang membuatnya terlihat sangat menarik bagi pria, terutama pinggangnya yang kencang dan lekuk tubuhnya yang menarik.


Jika Elan menatapnya, atau bahkan berani melihatnya, itu sudah lebih dari cukup untuk Luna.


Namun, ketika Luna melitik pantulan di dinding kaca yang berkilauan, Luna melihat bahwa Elan bahkan tidak melihat ke arahnya. Elan menunduk saat sedang membolak-balik dokumen kerja.


Satu-satunya hal yang Luna lihat di kaca itu adalah kekecewaannya sendiri. Luna berputar dan kembali ke sofa, lalu mengambil cangkir tehnya. Sambil menyesap, Luna bertanya, “Saya tidak mengganggumu, kan, Elan?”


“Tidak,” jawab Elan bingung sambil melirik ke arahnya, lalu menandatangani dokumen itu. “Saya akan meminum teh saya sebentar lagi.”


Ketika Elan baru saja akan meraih cangkirnya, ponselnya berdering. Elan melihat ID penelepon dan tersenyum hangat. Luna segera mengetahui siapa yang meneleponnya, dia langsung bertanya, “Apakah itu Tasya? Jangan biarkan dia tahu saya di sini; saya tidak ingin dia salah paham.“


Elan terkekeh. “Tasya orang yang lebih baik dari yang kamu pikirkan.” Tentu saja, Elan juga tidak berencana memberi tahu istrinya tentang kehadiran Luna. Elan mengangkat teleponnya dan menyapa dengan suara lembut, “Halo, Sayang.”


“Saya baru saja mengadakan pertemuan informal dengan Luki, dan saya menyuruhnya menyiapkan kantor untuk saya. Sepertinya kita akan bekerja sama mulai sekarang, Sayang.”


Mata Elan berbinar positif ketika Elan mendengar perkataan Tasya, dan dia terkekeh ketika berkata, “Saya akan membuatkan kantor tepat di lantai yang sama dengan saya sehingga kita bisa bertemu sepanjang waktu!”


Sayangnya, sarannya ditolak oleh istrinya, Tasya menjawab, “Tidak, saya tidak ingin berada di lantai pengap yang sama denganmu. Saya ingin memiliki ruang sendiri di lantai yang sama dengan Jewelia.”


Elan memang merasa sakit hati, namun dia menepisnya dan tertawa kesal, “Baiklah, kami akan melakukan kemauanmu.”


Di seberangnya, Luna mendekatkan cangkir tehnya ke bibir dan melirik Elan yang berdiri di dekat dinding kaca. Luna melihat garis-garis tajam pada sosok wajah Elan dengan penuh keinginan, dan dia merasa cemburu ketika dia mendengar cara Elan berbicara lembut dengan Tasya.


Luna sudah tidak melihatnya selama hampir belasan tahun, namun sosoknya terpatri di benaknya, dan Luna tidak pernah melupakan Elan meskipun ayahnya telah memaksanya tinggal di luar negeri selama bertahun- tahun. Jika bukan karena ayahnya, Luna pasti sudah kembali ke sisi Elan bertahun-tahun yang lalu.


Sayangnya, takdirnya kejam, karena keberadaannya menghalangi ayahnya mencuri kekayaan keluarga Prapanca. Luna bahkan tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberi tahu Elan tentang perasaannya terhadapnya, dan selama itu, Luna mengingat Elan sebagai anak laki-laki yang telah membuat jantungnya berdebar kencang sejak mereka masih kecil.


Luna masih ingat bagaimana mereka biasa berlarian di sekitar taman di Kediaman Prapanca, dan bagaimana Elan akan memegang tangannya untuk membantunya berdiri setiap kali Luna jatuh; Elan akan menghiburnya saat Luna menangis, dan membelanya saat Luna memecahkan satu atau dua vas. Elan adalah satu-satunya yang pernah dia kenal, satu-satunya orang yang Luna ingin mengabdikan dirinya setiap hari.


Namun, alam semesta jelas membencinya, karena pada saat Luna bisa melihat Elan lagi setelah bertahun- tahun di luar negeri, Elan sudah menikah dan memiliki seorang anak, dan dia menjadi sangat tampan, lebih dari yang dia ingat.


“Baiklah, saya berjanji akan beristirahat ketika saya butuh istirahat dan saya tidak akan gila kerja,” Elan bergumam di telepon dengan senyuman penuh cinta di wajahnya. Elan kemudian melanjutkan untuk mengobrol, dan setelah itu Elan menutup telepon dengan enggan. Elan berbalik, dan dia tampak terkejut melihat Luna masih berada di ruang kantornya. Elan berjalan ke sofa dan duduk.


“Jadi, itu benar Tasya. Kamu sangat beruntung telah menemukan istri seperti dia. Dia luar biasa,” puji Luna sambil tersenyum.


Ada sinar terang di mata Elan saat dia berkata, “Dia yang terbaik. Saya katakan padamu, saya tidak tahu apa yang saya lakukan sehingga bisa pantas mendapatkan seseorang seperti Tasya.”


READING FREE LIGHT NOVEL AT NOVEL BIN



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.