Ruang Untukmu

Bab 758



Bab 758

Bab 758


Bab 758


Begitu Jeremi mengumpulkan keberanian dan siap menyapa Salsa, suara rendah seorang laki–laki tiba– tiba terdengar dari belakang, “Bisa datang ke sini, sayang?”


Salsa membalik badan dan menemukan dua orang laki–laki berdiri di belakangnya. Walaupun begitu, hanya ada satu yang tertangkap matanya saat dia tersipu malu. Bagaimana bisa dia memanggil saya sayang‘ di depan semua orang?


Salsa menyapa Jeremi demi sopan santun, “Halo, Jeremi!” Kemudian, dia berjalan ke sisi Arya dan memegang


tangannya.


Walaupun terlihat baik–baik saja dari luar, Jeremi merasa hatinya remuk karena tidak nyaman dan sulit untuk menyembunyikan perasaannya.


Apakah laki–laki ini sengaja berlaku seperti itu? Apakah dia sengaja menunjukkan superioritasnya di depan saya? Siapa pula orang ini sebenarnya? Saat itu, dia sudah memutuskan untuk memberi pelajaran pada Arya.


Sambil menggertakkan giginya, Jeremi berpikir bahwa dia akan membuat ‘rekan Airlangga‘ ini membayar tunai penghinaan dengan darahnya tanpa memperlihatkan dirinya sendiri.


Alasan mengapa Jeremi begitu percaya diri adalah karena dia merasa Arya bukan orang dari negeri ini walaupun memiliki garis wajah tipikal warga lokal dan berbahasa mereka sendiri. Lebih lanjut lagi, tidak ada keluarga terpandang di negeri ini dengan nama keluarga ‘Airlangga‘.


Salsa, yang ditarik menjauh oleh Arya, duduk di dalam ruang privat. Ketika berpikir bahwa laki–laki itu mungkin memiliki sesuatu yang penting untuk disampaikan padanya, Salsa tiba–tiba saja disodori buah


persik oleh Arya.


“Cobalah.”


Melihat semangatnya, Salsa tidak bisa menolaknya dan mengambil sepotong. “Apakah kamu membawa saya ke sini hanya untuk makan buah persik ini?”


“Kamu begitu memukau malam ini. Saya tidak ingin laki–laki lain memandangimu sedetik lebih lama, maka berdiam sajalah di sini bersama saya,” Arya menyampaikan pikirannya tanpa basa–basi.


Namun, Salsa agak terkejut dengan kata–katanya. Mengapa dia terdengar begitu membutuhkan?


Kemudian, potongan buah persik berikutnya disodorkan lagi padanya. Karena senang dengan rasanya, Salsa langsung menjulurkan tangan untuk mengambil sepotong. Namun, laki–laki itu tiba–tiba menjauhkan potongan buah itu dan menundukkan kepala untuk mengecupnya.


Bibir Salsa tiba–tiba saja berpagutan dengan bibirnya.


Berpasangan dengan manisnya buah persik, Arya hampir saja tidak bisa mengendalikan diri dan tidak perduli sedang berada di mana. Dia tidak perduli apakah acara amal itu akan berlangsung di luar dan juga tidak perduli bila ada orang yang tak sengaja menyaksikan adegan yang mereka buat. Yang diinginkannya saat itu adalah memiliki Salsa sepenuhnya.


Salsa dengan patuh larut dalam pelukan Arya dan dengan rakus mereguk cintanya di sudut yang tidak diketahui.


Sambil berciuman, air mata tak dapat ditahan mengalir di pipinya karena merasakan sensasi kepahitan yang tak diketahui dari dalam dirinya. Ada perasaan bahwa betapapun sangat mencintainya, dia mungkin saja akan kehilangan laki–laki itu suatu hari nanti.


Oleh karena itu, ciuman ini menyadarkan cintanya pada Arya dan menjadi pengingat bahwa semakin dalam dia mencintai laki–laki itu, akan semakin sakit perasaannya.


Merasakan asinnya air mata, Arya membuka mata dan hanya menemukan perempuan dalam pelukannya itu menangis. Dengan kikuk dia menghapus airmatanya sebelum bertanya, “Ada apa? Apakah saya telah membuatmu merasa tidak nyaman?”


“Bukan itu …“ Sambil menggerakkan bibirnya, Salsa berbalik untuk menghadap arah lain. Walaupun sangat bahagia hari–hari belakangan ini layaknya pasangan nyata, ada perasaan yang terus–menerus menggelitik dalam hatinya.


Salsa tahu bahwa pada akhirnya mereka tidak akan menyatu karena Marina tidak akan mengizinkan dia menikah dengan cucunya. Jadi, Salsa memutuskan untuk melupakan hal ini dan memberikan seluruh hatinya untuk Arya, sambil berpikir bahwa dia harus hidup sebahagia yang dia bisa untuk saat ini dan menangis ketika akhirnya kehilangan dia.


Semakin Salsa merasakan dirinya dicintai oleh laki–laki itu, semakin dia tidak bisa mengabaikan kegelisahannya. Kini, cinta Arya sudah menjadi pisau tajam, perlahan mengiris hatinya justru ketika dia semakin membahagiakannya.


“Bodoh. Mengapa kamu menangis?” Arya merendahkan tubuhnya dan mencium lembut dan hangat bibir Salsa sambil memperlihatkan tatapan yang tak seorang perempuan lain pun dibiarkan menyaksikannya sebelum ini.


Arya yang dingin dan menjauh dari sebelumnya tampak seperti dirinya tidak akan pernah bisa mencintai perempuan manapun di dunia ini, seakan tidak satupun dapat menempati hatinya …



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.