Ruang Untukmu

Bad 990



Bad 990

Bad 990


Bab 990


Jakun Raditya terlihat sedikit bergetar ketika tersenyum. “Saya khawatir ibu akan membuatmu stres.”


-Tidak mungkin itu terjadi! Nyonya Hernadar sangat ramah dan baik pada saya.” Anita tersenyum lalu menyodorkan makanan untuknya. “Habiskan makananmu. Ayo kita jalan–jalan setelah makan malam ini.”


Raditya mengangguk. Acara perjamuan itu sebenarnya sedikit membosankan, jadi dia berencana untuk pergi dengannya setelah makan malam.


Tak lama kemudian, Starla tiba dan bergabung di meja mereka. Raditya bisa merasakan perhatian dan kasih sayang Starla untuknya dan tampak ekspresi lembut di wajahnya sepanjang malam.


Tamu lain harus berpantisipasi pada presentasi nanti, jadi Raditya akan pergi dengan Anita setelah makan malam.


Begitu mereka berjalan menuju tempat parkir, tiba–tiba Anita menoleh dan berkata penuh harap, “Kita jalan- jalan di pinggir pantai saja. Lagipula belum terlalu malam.”


“Boleh, kamu yang memutuskan ke mana kita pergi malam ini, saya akan menurut.” Raditya memberinya kebebasan untuk mengisi waktu mereka malam itu.


Raditya menyalakan mobilnya dan melesat ke jalan bebas hambatan yang menuju pantai terdekat dan Anita duduk di bangku depan lalu bertanya, “Apakah Ibumu dan Paman Wirawan punya anak?”


Raditya menggeleng. “Mereka tidak memiliki anak, tetapi saya dengar mereka mengadopsi anak perempuan dari seorang teman dekat. Pasangan itu seringkali bekerja di luar negeri, sehingga putri mereka dibesarkan oleh ibu saya saat dia kecil.”


Anita memerhatikan bahwa tampaknya Raditya tidak tahu banyak tentang kehidupan ibunya dan dia hanya bisa bersimpati menatapnya. “Di kemudian hari, jika kita punya anak, saya yakin ibumu pasti akan senang.”


Raditya mengerucutkan bibir dan tersenyum. “Iya, dia pasti tidak sabar dengan hal itu.”


“Kalau begitu, ayo cepat kita tanda tangan surat nikah. Setelah itu, kita bisa mulai merencanakan untuk memiliki momongan. Kamu lebih suka laki–laki atau perempuan?”


“Saya senang yang manapun,” jawab Raditya tanpa keraguan.


Saat itu, bibir Anita naik membentuk senyuman dan menjadi sangat antusias. “Saya jadi bertanya– tanya apakah kita bisa mendapatkan sepasang anak kembar; laki–laki dan perempuan. Pasti menggemaskan!”


“Yah, mungkin saja.” Terlihat senyum percaya diri tersungging di wajah tampannya.


Sementara itu, Anita tersenyum malu–malu memahami kata–katanya. “Kamu terdengar begitu angkuh.”


“Saya percaya dengan kemampuan saya,” jawabnya dengan angkuh.


Anita hanya tersenyum dan melihat ke luar jendela. Namun, senyumnya perlahan–lahan memudar dan tatapan khawatir terlintas di matanya. Namun, senyum di wajahnya itu kembali saat dia memalingkan


waiahnya ke arah Raditva


“Sebaiknya kita memiliki anak laki–laki terlebih dahulu, baru kemudian anak perempuan. Dengan begitu, kamu bisa mengajarinya cara menjaga adik perempuannya. Bagaimana menurutmu?”


“Benar, saya setuju.” Raditya merasa pendapat Anita bagus.


Mata Anita tertuju pada hotel bintang lima yang cukup jauh di bawah langit berbintang di ujung pantai, dan menunjuknya. “Saya dengar itu tempat yang bagus untuk menikmati kopi di lantai teratas. Ayo kita ke sana!”


“Ayo.”


“Apakah kamu membawa kattu identitasmu?” tiba–tiba Anita bertanya.


Kemudian, Raditya menoleh ke arahnya dengan tatapan sedikit muram seakan tertegun. “Iya, ada.”


Anita dengan lembut berkata, “Saya dengar tempat ini bagus untuk melihat matahari terbit. Saya ingin tidur di sini dan melihat matahari terbit esok pagi. Bagaimana bila kamu menemani?”


Saat itu, jantung Raditya berdegup sangat cepat dan menjawab dengan suara parau, “Tidakkah orang tuamu khawatir denganmu?”


Anita bergumam, “Apa yang harus dikhawatirkan? Saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah berusia dua puluh lima tahun.” Setelah itu, dia tersipu malu kemudian menginterogasinya, “Saya hanya ingin tahu apakah kamu mau melihat matahari terbit bersama saya.”


“Tentu saja mau,” jawab Raditya dengan suara tegas.


Anita mengeluarkan ponselnya dan diam–diam mengetik pesan untuk Darwanti. “Ibu, malam ini saya tidak pulang malam ini, Jangan tunggu saya.”


Setelah itu, dia mengubah mode ponselnya menjadi diam sebelum Darwanti menjawab pesannya, “Oke, baiklah. Jangan lupa untuk beristirahat cukup.”


Darwanti pernah mengalami hal seperi ini dulu, jadi dia tahu apa yang sedang terjadi.


Wajah Anita berubah merah saat membaca pesan itu. Apa maksud ibu dengan kalimat terakhir? Istirahat apa? Apakah pikirnya saya akan terjaga sepanjang malam?


Mereka tiba di tempat parkir hotel, dan segera turun dari mobil. Dia mengerahkan seluruh keberanian untuk masuk ke lobi hotel sambil menggandeng lengan Raditya.


Dia berinisiatif untuk memesan kamarnya.


Di meja resepsionis, Anita menyerahkan dua kartu identitas. “Satu kamar dengan ranjang besar. Terima kasih.”


READING FREE LIGHT NOVEL AT NOVEL BIN



Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.